PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN DAN GIZI: HARUS SINERGI DAN SISTEMIK

Mengingat masih tingginya angka indeks kelaparan di Indonesia, menuntut pemerintah di setiap level melakukan upaya secara sinergis dan sistemik melalui kebijakan strategis ketahanan pangan dan gizi sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan.

Tingkat kelaparan Indonesia menurut Global Hunger Index (GHI) menempati urutan ketiga tertinggi di Asia Tenggara pada 2021. Indonesia mendapatkan skor indeks sebesar 18 poin atau termasuk dalam level moderat. Skor ini telah berada di atas rata-rata global yang sebesar 17,9 poin. Sementara, negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di wilayah Asia Tenggara adalah Timor Leste, yakni mencapai 32,4 poin atau masuk dalam level serius. Laos berada di urutan berikutnya dengan skor 19,5 poin atau masuk level moderat. Negara dengan tingkat kelaparan terendah di Asia Tenggara adalah Thailand. Negara ini memiliki skor indeks kelaparan 11,7 poin atau masuk dalam kategori moderat. Negara terendah selanjutnya adalah Malaysia yang memiliki skor 12,8 poin atau masuk level moderat. GHI menggambarkan situasi kelaparan suatu negara yang berhubungan dengan kebutuhan dasar fisiologis manusia, yaitu kebutuhan pangan dan nutrisi. Skor indeks GHI didasarkan pada empat komponen, yakni kondisi kurang gizi, anak yang kurus, stunting anak, dan kematian anak. Indeks di bawah 9,9 poin menunjukkan kelaparan yang rendah, indeks 10-19,9 level moderat, dan indeks 20-34,9 dalam level serius. Selanjutnya, indeks 35-49,9 dalam level mengkhawatirkan dan di atas 50 sangat mengkhawatirkan (Global Hunger Index/GHI Negara Asia Tenggara, 2021).

Akses data di: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/01/tingkat-kelaparan-indonesia-peringkat-tiga-tertinggi-di-asia-tenggara-pada-2021

Skor Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) Negara Asia Tenggara (2021)

Pentingnya Pembangunan Ketahanan Pangan dan Gizi secara Sistemik

Dalam pemahaman baru, ketahanan pangan dan gizi didefinisikan sebagai perwujudan ketahanan pangan tidak hanya berorientasi pada upaya penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu, namun juga harus disertai upaya untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi setiap individu. Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari kualitas pangan yang dikonsumsi, namun juga harus didukung oleh terhindarnya setiap individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan kesehatan melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene yang baik (FAO, 2012 cit KSPG 2020-2024).

Apa pentingnya pembangunan ketahanan pangan dan gizi secara sistemik?

Pertama, masalah gizi di Indonesia sebagai outcome dari situasi ketahanan pangan dan ketahanan gizi masih sangat serius. Kondisi ini dicirikan oleh tingginya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek pada anak dibawah dua tahun), kegemukan pada anak balita dan orang dewasa, defisiensi zat gizi mikro (kurang vitamin A, anemia gizi besi dan gangguan akibat kekurangan iodium) serta semakin meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) karena buruknya pola konsumsi pangan masyarakat.

Kedua, prevalensi masalah gizi dan PTM masih sangat tinggi. Kondisi ini terkait dengan persoalan-persoalan yang mendasarinya, yaitu masih relatif rendahnya kualitas (komposisi dan keamanan) pangan yang tersedia, keterbatasan akses pangan baik secara fisik maupun ekonomi karena terbatasnya daya beli, buruknya lingkungan fisik dan lingkungan (akses air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan), pola asuh yang buruk sebagai akibat rendahnya pendidikan dan pengetahuan, dan keterbatasan akses layanan kesehatan. Mempertimbangkan kondisi tersebut, pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesa pada masa mendatang, khususnya pada periode 2020-2024 harus menggunakan pendekatan sistem agar keterkaitan pembangunan lintas sektor dapat terjadi dan sinergitas antar sektor dapat tercapai melalui suatu koordinasi lintas sektor (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2019).

Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi dapat diakses di: bit.ly/KSKPG2022-2024

Bagaimana agar kebijakan pembangunan ketahanan pangan dan gizi dapat sinergis dan sistemik hingga ke tingkat Pemerintah Desa?

Pasal 5 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 104 tentang Rinciang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengamanatkan bahwa Dana Desa tahun anggaran 2022 dialokasikan untuk program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%. Kemudian dalam ketentuan yang lebih teknis, berdasarkan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa, bahwa Pemerintah Desa melakukan penyesuaian kegiatan ketahanan pangan dan hewani sesuai dengan karakteristik dan potensi Desa. Melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022 bahwa prioritas penggunaan Dana Desa dibagi dalam 2 (Dua) tipe. Pertama, Prioritas Penggunaan Dana Desa diatur dan diurus oleh Desa berdasarkan kewenangan Desa (Pasal 5 ayat (1)). Kedua, Prioritas Penggunaan Dana Desa diarahkan untuk program dan/atau kegiatan percepatan pencapaian SDGs Desa melalui:

  1. pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan Desa;
  2. program prioritas nasional sesuai kewenangan Desa; dan
  3. mitigasi dan penanganan bencana alam dan nonalam sesuai kewenangan Desa

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Teringgal, dan Transmigrasi dalam peraturannya tersebut meletakkan posisi kebijakan program yaitu penguatan ketahanan pangan nabati dan hewani untuk mewujudkan Desa tanpa kelaparan (SDGs Desa ke-2) dalam prioritas nasional sesuai kewenangan Desa (Pasal 6 ayat (2) huruf c), bukan pada kebijakan pemulihan ekonomi sesuai kewenangan Desa. Ini berarti bahwa kebijakan penguatan ketahanan pangan dan hewani sangatlah urgen dan mendesak. Dengan kata lain, program ini diproyeksikan harus berdampak pada pada jangka pendek namun berkelanjutan, bukan program yang dirancang untuk jangka yang panjang. Program ketahanan pangan dan hewani untuk mewujudkan Desa tanpa kelaparan atau dengan kata lain mengentaskan Desa dari kondisi kelaparan merupakan program direct dan akseleratif. Earmarking minimal sebesar 20% Dana Desa Tahun 2022 bukanlah program yang asal jadi/asal terlaksana, namun harus memberikan kontribusi terutama terhadap penurunan angka stunting dan selanjutnya mencegah kasus stunting di Desa.

Lalu apa saja yang harus dilakukan pemerintah Desa melalui program ini?

Mari kita fokuskan bagaimana desain program dan kegiatan ketahanan pangan dan hewani agar dapat mewujudkan SDGs Desa ke-2. Dengan kata lain, program ini tidak lari dari konsepsi ataupun tujuan. Seperti yang diamahkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan bahwa pemanfaatan pangan atau konsumsi pangan dan gizi akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan melalui pemenuhan asupan Pangan yang beragam, bergizi seimbang, serta pemenuhan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan. Ringkasnya, asupan pangan harus Bergizi, Beragam, Seimbang, dan Aman (B2SA). Dalam implementasinya ada 3 aspek pokok yang harus diperhatikan yaitu:

  1. Ketersediaan pangan,
  2. Keterjangkauan, dan
  3. Kemanfaatan.

Ketersediaan pangan diarahkan untuk menciptakan sentra produksi dan peningkatan produktivitas serta distribusi penyediaan pangan lokal. Keterjangkauan pangan diarahkan pada kemudahan masyarakat untuk mengakses pangan baik jarak maupun harga. Dan Pemanfaatan pangan dicerminkan oleh konsumsi pangan perseorangan atau rumah tangga yang dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, pola konsumsi pangan, dan pengetahuan pangan dan gizi. Kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi secara langsung akan menentukan status gizi.

Secara teknis, beberapa hal yang bisa dilakukan di Desa diantaranya yaitu:

  1. Penyediaan sentra gizi bagi masyarakat:
    • Penyediaan kebun gizi bagi masyarakat
    • Penyediaan sentra ikan dan/atau ternak bagi masyarakat
  2. Bantuan sarana produksi pertanian (saprotan) dan peternakan bagi masyarakat berbasis kelompok berdasarkan kewilayahan ataupun karakteristiknya agar mereka dapat mengembangan lahan pekaranagn (skala rumah tangga) seperti; bantuan bibit, pupuk, pakan, dan obat menjadi rumah pangan lestari atau dalam terminologi lain disebut lumbung hidup dan warung hidup.
  3. Penyediaan bantuan pangan atau Penyediaan Makanan Tambahan (PMT) dan gizi bagi sasaran 1.000 HPK dan anak usia 2 – 6 tahun yaitu:
    • Bagi Ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK)
    • Bagi Ibu menyusui dengan kondisi balita kurang gizi
    • Bagi balita stunting yang diberikan secara berkala dengan bantuan petugas kesehatan
    • Bagi balita kurang gizi
    • Bagi anak usia PAUD/TK
    • Berikut kondisi sanitasi dan air bersih juga harus diperhatikan
  4. Peningkatan kapasitas masyarakat
    • Penyuluhan/promosi gizi dan keamanan pangan bagi sasaran 1.000 HPK
    • Pelatihan/penyuluhan intensifikasi pertanian
    • Pelatihan kader pangan atau keamanan pangan

Food and nutrition security exists when all people at all times have physical, social and economic access to food, which is safe and consumed in sufficient quantity and quality to meet their dietary needs and food preferences, and is supported by an environment of adequate sanitation, health services and care, allowing for a healthy and active life” (FAO, 2012)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*